Laser ablatif CO2 untuk menghaluskan wajah (For Expert) written by dr Gerry Wonggokusuma , Dipl. AAAM (USA), Dipl. CIBTAC (UK)





Sistem pertama yang digunakan untuk menghaluskan wajah adalah laser ablatif CO2 yang diperbolehkan oleh FDA  (Food and Drugs Administration) di Amerika. Sistem pertama yang dikembangkan adalah continuous wave CO2 laser, yang sangat efektif untuk menghancurkan lesi. Tapi sayangnya penggunaan laser ini tidak bisa dipakai jangka lama karena menimbulkan jaringan parut dan dispigmentasi.  Dengan perkembangan high energy pulsed lasers, saat ini sangat memungkinkan menggunakan laser dengan densitas energi yang lebih tinggi dengan waktu paparan yang lebih rendah daripada waktu termal relaksasi dari jaringan yang memuat air.

Ada dua sistem high energy pulsed laser yang dikembangkan, yaitu Ultra Pulse 5000 dan Silk-Touch laser (Lumenis Corp, Yokeam, Israel). Ultrapulse memancarkan gelombang pulse CO2  ( dengan range 600 microsecond sampai 1 milisecond) dengan energi puncak sebesar 500 mJ. Sedangkan Silk Touch merupakan sistem dengan continuous wave CO2 dengan scanner mikroprosesor yang berkelanjutan dengan pancaran sinar sehingga laser tidak terpapar pada 1 tempat yang sama lebih dari 1 milisecond. Beberapa penelitian mengatakan bahwa kulit yang dihaluskan dengan menggunakan CO2 dapat menguapkan sel-sel bermuatan air sampai kedalaman kurang lebih 20 sampai 60 mikrometer, prosedur ini dapat menimbulkan kerusakkan termal dengan range 20 sampai 150 mikrometer.
Tujuan laser ablatif CO2 adalah untuk menguapkan jaringan sampai level dermis papilaris. Membatasi kedalaman penetrasi dapat menurunkan resiko timbulnya jaringan parut dan perubahan pigmen secara permanen. Sebelum menjalani prosedur ini sebaiknya dokter mempertimbangkan beberapa faktor seperti bagian anatomi  yang akan menjalani prosedur penyinaran, fototipe kulit pasien dan prosedur kulit sebelumnya yang telah dilakukan. baca mengenai ablative laser (for expert) 
 
Secara umum, pasien dengan kulit yang tipis memerlukan laser yang lebih sedikit dan harus menghindari bagian –bagian kulit selain wajah seperti leher dan dada karena kurangnya unit pilosebaseous pada daerah ini secara relatif. Untuk mengurangi kerusakkan termal pada prosedur yang memancarkan sinar secara multiple, jaringan jaringan yang telah rusak harus di singkirkan secara manual dengan kassa atau handuk steril hangat setiap laser mencapai permukaan kulit untuk memaparkan bagian kulit di bawahnya (underlying dermis).
Tingkat kedalaman sinar ablatif CO2 ini tergantung dari banyaknya sinar yang sampai ke kulit dan biasanya dibatasi sampai tingkat dermis papilaris. Penggunaan sinar yang menumpuk pada satu tempat dengan menggunakan setting overlap pada alat scanning dapat menimbulkan kerusakkan termal yang banyak dan akan menimbulkan resiko timbulnya jaringan parut di kemudian hari. Oleh karena itu penghindaran akan penyinaran pada satu tempat dan membersihkan jaringan yang rusak karena penyinaran laser merupakan komponen yang krusial dalam  menjalani prosedur ini karena bila ablatve plateau sudah tercapai, jaringan yang rusak tidak akan banyak lagi tapi malah menimbulkan kerusakkan termal yang parah sehingga hasilnya tidak efektif. 

Karena kompleksnya teknik dan efek samping yang ditimbulkan oleh multi-pass CO2 laser skin resurfacing, sekarang dikembangkan single pass CO2 laser resurfacing yang menimbulkan reepitelialisasi yang lebih cepat dan efek samping yang lebih rendah daripada multipass CO2 . Jaringan yang rusak akibat pentinaran juga tidak perlu dilakukan (yang merupakan standard multipass CO2 laser), malah jaringan yang rusak dibiarkan agar menjadi pelindung alami dari kuman dan debu. Saat ini penggunaan laser sudah dapat diaplikasikan secara lokal untuk mengurangi cidera termal dan trauma mekanikal pada kulit yang tidak perlu diberikan penyinaran.

Written by : dr. Gerry wonggokusuma , Dipl. AAAM (USA), Dipl. CIBTAC (UK)

Comments

Popular posts from this blog

JENIS JENIS FACIAL SECARA UMUM by: dr. Gerry Wonggokusuma , Dipl. AAAM (USA), Dipl. CIBTAC (UK)

Apa itu cantik? by dr. Gerry Wonggokusuma, Dipl AAAM (USA), Dipl CIBTAC (UK)